Tak Profesional


Minggu, 13 Oktober 2019

Sebelumnya, maaf, hari ini setumpuk kebetean menumpuk di pikiranku. Mungkin diri ini terlalu sibuk dengan kekosongan pikiran, sehingga memikirkan apa yang harus ku pikirkan. Kehampaan hati dan raga menempel sejak beberapa minggu lalu. Nalarku tak memungkiri bahwa diri ini sudah terlampau jauh pada sang pencipta, selalu saja terbuai dengan akal-akalan syaitan yang membuat aku beribadah seakan-akan tak beribadah.

Astagfirullahal'adzim...

Maaf, jika tanpa sadar ilmu yang ku miliki ini menjadi lahan untuk bersombong diri, berbicara dengan nada tinggi dan menyeritkan mata seakan-akan diriku lah yang paling benar.

Maaf, jika aku terlalu fanatik dengan pemikiran ilmiah, menghadapi segala persoalan hanya dengan matematik dan matematik. Padahal karenanya itu aku menjadi manusia kurang ajar yang tak pandai bersyukur.

Astagfirullahal'adzim...

Dari sekian banyak kegalauan yang ku hadapi, terdapat masalah yang menjadi bahan pemikiranku berulang-ulang (maaf jika yang mendengarnya bosan), ialah mengenai ketidakpuasan ku terhadap perkuliahan yang sedang ku jalani.

Kalian bisa bilang aku seorang yang pesimis setelah membaca ini.

Melihat berbagai tayangan di media sosial seperti instagram, youtube, dan facebook. Membuatku miris dengan keadaan penerus bangsa yang sedang dilanda krisis moral.

Terlalu santai rasanya perjuangan ku untuk menjadi seorang guru, jika setiap harinya selalu mengulang-ulang pola kegiatan yang sama dalam perkuliahan. Apa hanya aku yang merasakan jika diriku ini kurang asupan komponen metodologi dari jurusan atau universitas? Apakah diriku ini lah yang akan melahirkan anak bangsa yang kembali krisis moral?

Ah, salah ku saja yang kurang mengeksplor diri untuk mencari tau sendiri. Toh yang penting nilai dapet bagus, ya kan?

Belajar dengan diskusi di kelas dan menjadi orang yang kritis menjawab segala pertanyaan dengan sumber-sumber terpercaya rasanya sudah membuatku bosan akhir-akhir ini. Yang ku pikirkan bagaimana aku mengajar nanti? Apakah peserta didikku terus menerus ku sogoki teori-teori keagamaan?

Tidak kah ada cara yang lebih kreatif selain berceramah dan diskusi yang cocok untuk mata pelajaran PAI?

Ada banyak, sayangnya ceramah dan diskusilah yang selalu dipakai.

Adanya paradigma dikotomis yang menjadikan Pendidikan agama hanyalah berurusan dengan ritual dan spiritual, yang menjadikan pelajaran ekonomi, matematika, astronomi dan yang lainnya menjadi pelajaran non-agama.

Terlalu muna memang jika berkata "Aku akan menjadi guru PAI yang akan mengajar dengan ikhlas." Padahal sejak mulai kuliah pemikirannya hanyalah uang, uang dan uang.

Rasanya diriku kurang siap untuk menjadi seorang guru PAI, karena yang aku pikirkan ialah lulus kuliah dan jadi PNS yang gajinya besar.

Astagfirullahal'adzim...

Niat awal ingin menjadi seorang guru, sekarang mulai ragu dengan mencoba mencari keterlampilan lain yang sekiranya membuahkan benih-benih rezeki yang besar.

Pandangan seorang guru berpenghasilan kecil sepertinya menjadi inti ketidakseriusan seorang mahasiswa sepertiku untuk gemar mencari keterlampilan lain selain mengajar. Alhasil, apa adanya lah keterlampilan mengajar yang mungkin akan ku berikan kepada peserta didikku nanti (jika tak berubah-ubah).

Sudah ku bilang, aku pesimis, pesimis mengejar cita-cita mulia dengan gaji yang sedikit. Sudahku bilang juga maafkan diriku yang masih saja berfikiran matematik yang membuatku menjadi manusia serakah ini.

Ya, inilah yang membentuk penerus bangsa yang krisis moral.

Astagfirullahal'adzim...

Komentar

Postingan populer dari blog ini